Akhirnya, aku sampai pada tahap ini. Posisi yang sebenarnya
tak pernah kubayangkan aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam tentu
saja kau pikir ini berlebihan karena kamu tak pernah ada dalam posisiku, kamu
tak merasakan sesaknya jadi aku. Aku belum mengerti mengapa semua berakhir
sesakit ini? Setiap hari setiap waktu aku selalu berusaha menganggap semuanya
baik-baik saja. Bisakah kau bayangkan rasanya jadi seseorang yang selalu
menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja? Kamu takbisa. Tentu saja.
Kamu bukan perasa.
Aku berusaha semampuku untuk membahagiakanmu, namun
nampaknya usahaku tak begitu terlihat di matamu. Setiap hari aku berusaha
menerima kenyatan dan perubahan itu, aku sadar aku bukanlah sosok yang kau
inginkan. Memang aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, aku merasa
bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang jarang
memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya. Aku berusaha untuk tetap
terlihat kuat, asalkan melihat namanya tertera dilayar handphone itulah yang
kuartikan bahagia.
Hari demi hari aku berjalan dan berdiri tanpamu, sungguh
begitu hebatnya aku tidak berkeluh dihadapanmu, dihadapan teman-temanku
semuanya aku simpan seolah aku selalu merasa bahagia tanpa beban. Aku harap
suatu saat kamu akan kembali, aku tidak tahu kapan tapi aku harus percaya. Disela-sela
pembicaraan aku selalu menjadi api, aku tidak sadar bahwa hal itu [mungkin]
yang membuat kamu mulai jenuh dan lagi-lagi kamu selalu mencoba tersenyum untuk
bisa menahan bebanmu ini.. aku. Yah memang, karena terlalu sering, jadi tidak
kelihatan. Cinta yang didepan mata, seakan aku anggap hal biasa; yang aku
baikan. Karena yang memilih pergi lebih dulu kamu disini aku Cuma bisa
mengimbangi, Cuma berusaha menerima kamu yang sudah jauh berbeda.
Aku sudah tau kalau
kamu sudah punya penggantiku. Betapa mudah bagimu untuk melupakan segalanya. Aku
juga ingin sepertimu ysng mudah bahagia tanpa melibatkan kehadiran masalalu.
Aku sudah bosan dengan mata bengkak karena menangis, sudah
bosan melamun karena disakiti, dan sudah bosan merasa lelah karena terlalu
sering dibuat menunggu
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis, aku
menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai
sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-bernah tinggal. Seandainya kau
tahu perasaanku dan bisa membaca perasaanku, mungkin kamu akan berbalik arah
padaku. Tapi, aku hanyalah persinggahan, tempatmu meletakkan kecemasan, lalu
pergi tanpa janji untuk pulang